Pages

Kamis, 08 Agustus 2013

Madrasah Pada Awal Kemerdekaan

Setelah Indonesia Merdeka, usaha yang pertama kali muncul agar penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia mendapat perhatian serius dari pemerintah adalah melalui rapat BPKNIP pada tanggal 27 Desember 1945. Rapat itu membicarakan  tentang garis besar pendidikan nasional. Hasil pembicaraan tersebut membentuk komisi khusus untuk merumuskan lebih terperinci mengenai garis besar pendidikan di Indonesia. Dalam laporan yang disusun oleh BPKNIP diusulkan beberapa rekomendasi berkaitan dengan pelajaran agama di semua sekolah, yaitu:



  1. Pelajaran agama dalam semua sekolah diberikan pada jam pelajaran sekolah.
  2. Para guru agama dibayar oleh pemerintah.
  3. Pada sekolah dasar, pendidikan ini diberikan mulai kelas IV.
  4. Pendidikan tersebut diselenggarakan seminggu sekali pada jam tertentu.
  5. Para guru diangkat oleh Departemen Agama.
  6. Para guru agama diharuskan juga cakap dalam pendidikan umum.
  7. Pemerintah menyediakan buku pendidikan agama.
  8. Diadakan pelatihan bagi guru agama.
  9. Kualitas pesantren dan Madrasah harus diperbaiki.
  10. Pengajaran bahasa Arab tidak dibutuhkan.[1]
Perkembangan selanjutnya dapat ditelusuri kepada keputusan Menteri P & K dan Menteri Agama pada tanggal 2 Desember 1946 yang menentukan adanya pelajaran agama di sekolah rakyat dimulai dari kelas IV dan berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 1947. Dengan demikian, tanggal 1 Januari 1947 merupakan tonggal dimulainya pengajaran pendidikan agama di sekolah negeri.[2]
Setelah sekian tahun, pelajaran agama diselenggarakan di sekolah-sekolah umum, pada tahun  1950 diundangkan pula  pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri yang mentakan bahwa:
  1. Di sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut atau tidak.
  2. Cara penyelenggaraan pendidikan agama diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri P & K.[3]
Lebih lanjut, peraturan Menteri P & K juga mengetur bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat selama 2 jam perminggu. Sementara itu, khusus di lingkungan di mana Islam kuat, pendidikan agama mulai diajarkan di kelas I dan jam pelajaran ditambah 4 jam perminggu. Di Sekolah Menengah Pertama, pelajaran agama diberikan 2 jam perminggu, sesuai agama para murid. Untuk mata pelajaran ini, harus hadir sekurang-sekurang 10 orang murid untuk agama tertentu. Selama berlangsungnya pelajaran agama, murida yang beragama lain boleh meninggalkan ruang belajar. Sedangkan kurikulum dan bahan pelajaran ditetapkan Menteri Agama, dengan persetujuan Menteri P & K.[4]
Peraturan demikian berlaku sampai ditetapkannya hasil sidang MPRS tahun 1960. Dalam bab II pasal (3) Tap MPRS Tahun 1960 dinyatakan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai dari sekolah dasar sampai universitas, dengan pengertian bahwa murid berhak tidak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali murid atau murid dewasa menyatakan keberatannya.[5] Dengan demikian, murid yang belum dewasa jika tidak diizinkan orang tua atau walinya memiliki hak untuk tidak mengikuti pendidikan agama, dan bagi kalangan mahasiswa di universitas diberi kebebasan untuk mengikuti atau tidak mengikuti pendidikan agama. Peraturan ini berlaku sampai ditetapkannya peraturan baru yang termaktub dalam Tap MPRS Tahun 1966.
Bila dicermati dari peraturan yang berlaku tentang pendidikan agama di sekolah umum pada fase ini (1946-1965) terlihat bahwa pendidikan agama di sekolah umum belum memegang peran penting. Hal demikian dapat ditandai bahwa dalam fase ini pengajaran agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas, diberikan kebebasan untuk mengikuti atau tidak mengikuti pelajaran agama, dan yang paling mendasar adalah adanya pembatasan pengajaran agama di Sekolah Rakyat boleh diajarkan setelah kelas IV, padahal pelajaran agama di sekolah sangat penting diajarkan sejak kelas I SR.

[1] Karel A. Stebrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 90.
[2] Dazkiah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 91.
[3] Ibid.
[4] Sugarda Poerbakawadja, Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka (Jakarta: Balai Pustaka, 1970), h. 376-379.
[5] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1996), h. 78.

0 komentar:

Posting Komentar